Oleh: Fadli Islami Nazar
(Founder Yayasan Gerak Langkah Indonesia)
Potret Ironis Hari Pendidikan
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati perayaan hari pendidikan nasional. Biasanya menggelar upacara, dan melantunkan pidato bertema pendidikan. Narasi optimisme disampaikan dengan berbagai jargon seperti “Merdeka Belajar”, “Transformasi Digital”, dan “Profil Pelajar Pancasila”. Namun di balik seremoni yang rapi dan pesan-pesan normatif itu, realitas pendidikan kita seperti taman bermain eksperimen, bukan taman belajar yang memanusiakan manusia.
Begitu banyak fenomena yang terjadi di dunia pendidikan kita mulai dari Siswa bisa keracunan di sekolah setelah menikmati program Makan Bergizi Gratis (MBG), mereka dikirim ke barak militer seolah disiplin harus lahir dari kekerasan simbolik, Guru-guru kelelahan bukan karena mengajar, melainkan karena tenggelam dalam lautan laporan dan aplikasi. Pada perjalanannya pendidikan tak lagi berjalan sebagai proses pembebasan, tapi sebagai wahana ujicoba kebijakan yang berganti-ganti seperti musim.
Dalam ironi yang berulang itu, Hari Pendidikan Nasional menjadi bukan momen perenungan, melainkan rutinitas simbolik yang kehilangan makna. Maka perlu kiranya kita bertanya ulang “Pendidikan macam apa yang sedang kita rayakan?”
Pertanyaan itu memang terkesan provokatif karena mencoba mengajak merenungkan ulang arah bangsa terhadap dunia pendidikan di bumi pertiwi. Maka perlu kiranya memaknai “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” sambil mencari dan merumuskan pendidikan masa depan.
Pendidikan sebagai Kelinci Percobaan
Alih-alih menjadi ruang tumbuh yang aman dan bermakna, pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini sering menjelma sebagai laboratorium kebijakan dadakan. Siswa, guru, bahkan orang tua semuanya diposisikan sebagai objek uji coba dari keputusan-keputusan birokratis yang kerap minim dialog dan riset mendalam.
Salah satu potret paling mencolok adalah kasus keracunan MBG. Di beberapa daerah, siswa jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan dari program tersebut seperti didaerah Bandung, Tasik, Wonorejo. Bukannya dilindungi oleh sistem pendidikan yang memadai, mereka justru dibiarkan menjadi korban kebijakan uji coba. Di sinilah tampak ironinya peran pemangku kebijakan terhadap dunia pendidikan.
Hal lain, muncul fenomena yang lebih mengkhawatirkan. Siswa dikirim ke barak militer dalam rangka pembentukan karakter. Dengan dalih disiplin dan nasionalisme, beberapa pemerintah daerah menerapkan pelatihan semi-militer kepada pelajar. Langkah ini dikritik banyak pihak, mulai dari KPAI hingga Komnas HAM, karena mengandung unsur kekerasan simbolik dan berpotensi melanggar hak anak. Pendidikan berubah dari proses memanusiakan manusia menjadi penjinakan yang menakutkan.
Eksperimen lain yang tak kalah meresahkan adalah frekuensi perubahan kurikulum yang nyaris tak memberi waktu bernapas. Kurikulum 2006 (KTSP), 2013, hingga Kurikulum Merdeka datang silih berganti, kerap tanpa kesiapan teknis maupun mental para pelaku pendidikan. Guru dipaksa menyesuaikan diri dengan cepat, siswa bingung arah belajar, sementara hasilnya kerap tak sesuai harapan. Perubahan yang seharusnya lahir dari evaluasi mendalam justru terkesan terburu-buru dan terputus dari realitas di lapangan.
Lebih parah lagi, beban administrasi guru justru semakin menumpuk. Alih-alih mengajar, mereka sibuk mengisi laporan, dan berbagai bentuk birokrasi yang Administratif. Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa rata-rata guru menghabiskan lebih dari 30% waktunya untuk urusan administratif. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin proses pembelajaran bisa bermakna?
Semua fenomena ini menggambarkan sistem pendidikan kita lebih sibuk mengurus formalitas daripada substansi. Anak-anak dan guru bukan lagi subjek yang diberdayakan, melainkan kelinci percobaan dalam eksperimen kebijakan yang tak kunjung matang.
Pendidikan dalam Kacamata Filosofis dan Historis
Jika kita melihat ke akar sejarah pendidikan Indonesia, terutama gagasan Ki Hajar Dewantara, maka pendidikan adalah proses memerdekakan manusia. Bukan sekadar alat transmisi pengetahuan, apalagi penyeragaman perilaku. Dalam jargon filosofisnya yang terkenal “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” terkandung makna bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia secara utuh yaitu memberi keteladanan, menginspirasi, dan mendorong kemandirian.
Namun nilai-nilai itu nyaris tenggelam. Pendidikan tidak lagi diarahkan pada kemerdekaan berpikir, melainkan harus tunduk patuh terhadap sistem yang tak kunjung matang itu. Sekolah menjadi pabrik nilai ujian, bukan ruang refleksi dan pencarian makna. Peran guru direduksi menjadi operator kebijakan, bukan pendidik yang membimbing. Siswa dikondisikan untuk menjadi mesin pencetak tenaga kerja bagi industri.
Gagasan salah satu tokoh pendidikan, Paulo Freire menawarkan pendekatan kritis. Pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan alat penindasan. Freire mendorong pendidikan yang membebaskan, melibatkan dialog dan kesadaran kritis. Dalam konteks Indonesia, gagasan ini sangat relevan. Ketika anak-anak hanya diajarkan untuk tunduk patuh (yang dalam bahasa Freire diistilahkan “budaya bisu”), ketika guru tidak diberi waktu untuk mentransformasikan nilai, dan ketika pendidikan hanya jadi proyek politik lima tahunan, maka proses pembebasan itu telah gagal sejak mula.
Secara historis, pendidikan Indonesia memang belum sepenuhnya lepas dari paradigma kolonial yang mengarahkan kedisiplinan, penyeragaman, dan pembentukan tenaga kerja. Alih-alih menjawab tantangan zaman, sistem pendidikan kita justru kembali ke pola berulang yang seringkali tertinggal oleh realitas sosial yang bergerak lebih cepat.
Dalam konteks ini, menjadi penting untuk kembali pada pertanyaan mendasar: Apa tujuan pendidikan kita? Apakah untuk mencetak manusia yang berpikir bebas dan bertanggung jawab, atau sekadar menghasilkan lulusan yang patuh dan bisa “dijual” ke pasar kerja?
Epilog: Menemukan Jalan Pendidikan yang Memanusiakan
Di tengah arus pendidikan formalistik yang kian menjauh dari esensinya serta harapan dunia pendidikan yang naas, justru dari pinggiran sistem, harus muncul inisiatif-inisiatif pendidikan alternatif yang tumbuh dari kesadaran komunitas, bukan dari kebijakan pusat. Mereka bergerak tanpa seragam, tanpa kurikulum baku, tetapi dengan semangat yang justru lebih dekat pada ruh pendidikan. Mendidik manusia secara utuh.
Sekolah-sekolah komunitas, Sekolah Alam, dan model unschooling menjadi ruang eksperimentasi yang lebih organik. Di sana, anak belajar dengan alam, dengan pengalaman langsung, dengan rasa ingin tahu yang dibimbing, bukan dibatasi. Di beberapa daerah, pendidikan berbasis kearifan lokal mulai hidup kembali. Mengajarkan pertanian, gotong royong, nilai hidup, dan bahkan spiritualitas dalam konteks budaya mereka.
Pondok pesantren yang mandiri juga menjadi contoh pendidikan yang tidak semata-mata akademis, tapi menyentuh pembentukan karakter, etika, dan spiritualitas. Sementara itu, inisiatif belajar mandiri berbasis digital seperti komunitas belajar daring dan lokakarya komunitas menjadi alternatif pembelajaran yang lebih cair dan responsif terhadap kebutuhan zaman.
Pendidikan alternatif ini bukan solusi instan, dan tentu tidak sempurna. Tapi setidaknya, mereka menawarkan pilihan bahwa kita tidak harus tunduk pada satu-satunya sistem yang ada. Bahwa kita bisa merumuskan sendiri cara mendidik, sesuai nilai yang kita yakini. Bahwa pendidikan tidak harus datang dari atas, tetapi bisa tumbuh dari bawah, dari ruang keluarga, dari komunitas, dari kesadaran kolektif bahwa mendidik adalah tanggung jawab bersama. Seperti keterangan tertulis bung Karno dalam karyanya (Dibawah Bendera Revolusi) bahwa setiap orang dapat menjadi guru.
Hendaknya kita kembalikan semangat Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan hanya seremoni. Ia mestinya menjadi momentum evaluasi menyeluruh. apakah sistem pendidikan kita masih relevan, atau hanya melestarikan kebiasaan usang? Di tengah segala absurditas kebijakan, semoga masih ada ruang untuk harapan bahwa pendidikan Indonesia kelak bisa benar-benar memerdekakan, bukan mengkerangkeng.