Langkah Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam menyelesaikan sengketa empat pulau yang diperebutkan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara mendapat sorotan luas dan dinilai sebagai bentuk keberanian politik dalam menuntaskan konflik administratif yang selama ini dibiarkan berlarut. Keempat pulau yang dimaksud — Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek — akhirnya diputuskan masuk dalam wilayah administratif Provinsi Aceh, setelah melalui proses rapat terbatas dan pengkajian dokumen yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sekretariat Negara, dan pihak-pihak terkait. Presiden Prabowo menegaskan bahwa keputusan ini didasarkan pada legalitas dokumen yang sah dan akurat, sehingga tidak ada lagi celah perdebatan yang dapat memperpanjang konflik antarwilayah.
Keputusan ini menjadi preseden penting dan membuka mata banyak pihak bahwa persoalan batas wilayah bukan hal remeh yang bisa diabaikan. Justru sebaliknya, batas wilayah adalah fondasi penting bagi kedaulatan administratif, alokasi anggaran yang adil, perlindungan aset, dan stabilitas pembangunan. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa per tahun 2023, masih terdapat lebih dari 1.500 kasus sengketa batas wilayah di seluruh Indonesia — mulai dari konflik antarprovinsi, antarkabupaten, hingga antardesa. Sengketa ini kerap menimbulkan gangguan pelayanan publik, ketegangan sosial, hingga terhambatnya proyek strategis nasional. Dalam konteks inilah, keputusan Presiden Prabowo menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah untuk segera melakukan audit batas wilayah secara menyeluruh.
Audit batas wilayah bukan hanya persoalan teknis pemetaan, tetapi juga menyangkut legalitas, sejarah, dan kejelasan identitas kewilayahan. Pemerintah daerah harus bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian teknis lainnya untuk melakukan audit berbasis data geospasial yang akurat dan diperbarui. Penggunaan teknologi seperti pemetaan drone, citra satelit, dan sistem informasi geografis (GIS) harus dioptimalkan demi memastikan tidak ada lagi wilayah abu-abu yang diperebutkan tanpa dasar hukum yang jelas. Lebih jauh, audit ini perlu didukung dengan partisipasi masyarakat, terutama di wilayah perbatasan, agar aspirasi lokal dan kepemilikan historis tidak diabaikan.
Praktik penyelesaian kasus Aceh–Sumut ini membuktikan bahwa konflik tapal batas dapat diselesaikan dengan cepat dan tegas apabila pemerintah memiliki data yang kuat, keberanian politik, dan niat baik untuk menjaga keutuhan wilayah. Oleh sebab itu, pemerintah daerah di seluruh Indonesia sepatutnya tidak menunggu konflik pecah terlebih dahulu untuk kemudian bertindak. Sebaliknya, audit batas wilayah harus dimulai dari sekarang, agar ke depan tidak ada lagi potensi konflik horizontal maupun vertikal yang timbul akibat ketidakjelasan batas. Langkah ini juga penting dalam rangka memperkuat otonomi daerah dan memastikan bahwa setiap wilayah memiliki dasar hukum yang kuat dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan.
Keputusan Prabowo adalah langkah strategis yang tidak hanya menyelesaikan satu persoalan, tapi juga memberi contoh bahwa negara harus hadir secara tegas dalam urusan batas wilayah. Maka dari itu, semangat penyelesaian yang ditunjukkan pemerintah pusat harus dijadikan momentum oleh seluruh kepala daerah untuk introspeksi dan bergerak cepat dalam menertibkan administrasi kewilayahan masing-masing. Audit batas wilayah bukan sekadar teknokratisasi peta, tetapi juga bagian dari menjaga integritas pemerintahan dan menciptakan keadilan spasial di seluruh negeri.
Penulis
Aldi Ferdiansyah
Sekretaris Umum HMI Cabang Bogor