Mengangkat Martabat Bangsa melalui Ekonomi Budaya: Strategi Indonesia Hadapi Era Globalisasi

Penulis: Aldi Ferdiansyah

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keragaman budaya paling kaya di dunia. Terdapat lebih dari 1.300 kelompok etnis, sekitar 700 bahasa daerah, serta ribuan tradisi lokal yang hidup dan berkembang di berbagai penjuru nusantara. Keanekaragaman ini mencerminkan kekayaan ekspresi sosial-budaya yang luar biasa. Namun demikian, di balik keberagaman yang membanggakan tersebut, terdapat sebuah ironi besar: potensi budaya belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai pilar ekonomi nasional. Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada semester pertama tahun 2024 tercatat sebesar Rp 749,6 triliun, atau sekitar 55,65 persen dari target tahunan yang ditetapkan sebesar Rp 1.347 triliun. Jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang berhasil memproyeksikan budaya populer mereka—seperti K-Pop, K-Drama, dan industri kecantikan—ke panggung global melalui konsep “K-Culture”, Indonesia masih tertinggal dalam memposisikan “I-Culture” sebagai kekuatan strategis dalam pembangunan ekonomi dan diplomasi budaya.

Di era globalisasi yang terus mengikis batas-batas identitas dan mempercepat penyebaran nilai-nilai homogen, urgensi untuk menguatkan ekonomi berbasis budaya menjadi semakin relevan. Masuknya arus budaya asing secara masif telah menyebabkan merosotnya daya saing budaya lokal, terlebih di kalangan generasi muda. Fenomena sosial seperti “#KaburAjaDulu” yang berkembang di tengah anak muda menjadi indikator adanya krisis harapan terhadap masa depan bangsa. Padahal, apabila dikelola secara sistematis dan berkelanjutan, budaya memiliki potensi besar sebagai penggerak ekonomi nasional yang berlandaskan martabat. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam sektor budaya mampu menghasilkan pengembalian ekonomi hingga sepuluh kali lipat. Terlebih lagi, nilai ekonomi digital Indonesia pada tahun 2023 telah mencapai US$82 miliar (sekitar Rp 1.274 triliun), yang membuka peluang besar untuk mendigitalisasi produk budaya lokal dan menembus pasar global.

Akar dari persoalan rendahnya daya dorong ekonomi budaya di Indonesia terletak pada ketiadaan strategi yang bersifat integratif serta adanya kesenjangan nyata antara potensi budaya lokal dan struktur ekonomi nasional. Selama ini, kajian mengenai ekonomi kreatif cenderung menekankan pendekatan kuantitatif dan belum banyak menyentuh dimensi kultural dan antropologis, sehingga belum tersedia kerangka konseptual yang dapat menjembatani budaya sebagai modal sosial dengan model pertumbuhan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Di sisi lain, produk budaya yang berasal dari wilayah pedesaan masih menghadapi berbagai hambatan, mulai dari keterbatasan akses pasar, infrastruktur logistik, hingga minimnya pemanfaatan teknologi digital. Situasi ini menunjukkan adanya celah pengetahuan (research gap) yang signifikan, yakni belum tersedianya model pembangunan nasional yang mampu mengintegrasikan potensi ekonomi digital, kekayaan budaya, dan pemberdayaan komunitas dalam satu ekosistem berkelanjutan.

Menanggapi tantangan tersebut, diperlukan sebuah kerangka kebijakan nasional yang dikenal sebagai “I-Culture Framework”, yaitu sebuah inisiatif integratif yang menggabungkan nilai-nilai budaya dengan penguatan ekonomi digital. Strategi ini mencakup beberapa langkah penting. Pertama, negara perlu mendorong digitalisasi budaya dengan memperkuat platform UMKM kreatif berbasis komunitas serta memastikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual melalui sistem HAKI. Kedua, pemerintah harus menyediakan insentif fiskal dan membangun kemitraan strategis antara Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), perguruan tinggi, dan pelaku industri kreatif guna menciptakan ekosistem budaya yang inovatif dan produktif. Ketiga, perluasan diplomasi budaya Indonesia harus dilakukan melalui strategi ekspor budaya yang tidak hanya mengejar nilai ekonomi, tetapi juga mengokohkan soft power bangsa dalam percaturan global. Keempat, dibutuhkan keterlibatan aktif pemerintah dan lembaga riset dalam mengembangkan indikator pengukuran yang dapat merekam dampak budaya terhadap pembangunan nasional, termasuk melalui penciptaan indeks ekonomi budaya serta sistem monitoring terhadap digitalisasi budaya lokal.

Dengan menjadikan kekayaan budaya sebagai fondasi utama pembangunan ekonomi, Indonesia tidak hanya akan memperkuat identitas nasional di tengah arus globalisasi yang seragam, tetapi juga membuka jalan menuju kemandirian dan keberlanjutan pembangunan yang berpijak pada kekuatan, kreativitas, dan kearifan rakyatnya sendiri.

Pos terkait