Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut: Apakah Solusi atau Disintegrasi?

Oleh: Muhammad Risky Munandar

Ketua HMI Cabang Bogor Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda

Bogor – Ketua HMI Cabang Bogor Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda (PTKP), Muhammad Risky Munandar, mengungkapkan bahwa pemerintah pusat seakan lemah dalam menyoroti sejarah dan tak memahami Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatra Utara.

“Di balik dinginnya Keputusan Mendagri April 2025 tentang 4 pulau sengketa (Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek), ada nelayan Aceh yang terancam kehilangan tempat singgah setelah melaut. Ada surat tanah tua 1965 yang terabaikan sia-sia. Ada adat Jumat yang melarang melaut demi menghormati alampun lenyap. Inilah bukti nyata ketika kebijakan hanya jadi angka di kertas mengabaikan denyut nadi manusia, sejarah, dan keadilan.”

Batas Wilayah merupakan kewenangan pemerintah untuk mengelola potensi yang ada demi kesejahteraan masyarakatnya. Apabila batas wilayah, negara, provinsi, kabupaten dan kota tidak jelas, maka dapat mengakibatkan 2 faktor negatif. Pertama, jika terdapat suatu wilayah yang diabaikan oleh masing-masing daerah karena merasa itu bukan wilayahnya, maka akan terjadi saling lempar tanggung jawab dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Kedua, jika kedua daerah saling mengklaim wilayah yang sama maka dapat menimbulkan konflik antar daerah.

Pemerintah Aceh bersama Pemerintah Kab. Aceh Singkil sejak tahun 2017 s.d 2020 telah beberapa kali mengirimkan surat yang menyatakan keberatan terhadap keputusan Kemendagri dalam memasukkan 4 pulau tersebut ke dalam cakupan wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Namun, keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Aceh tersebut tidak dapat ditindaklanjuti oleh Kemendagri karena berita acara rapat yang telah ditandatangani oleh Tim Pusat konsisten memasukkan 4 pulau tersebut ke dalam cakupan wilayah Provinsi Sumatra Utara.

Kemendagri dalam penyelesaian sengketa pulau seakan mengambil keputusan bukan berdasarkan empiris dan metode baku, akibatnya hal ini tak kunjung usai. Berdasarkan bukti Surat Kepala Inspeksi Agraria Aceh 1965 membuktikan pengelolaan pulau. Surat tersebut menyatakan bahwa yang didaftarkan di Kantor Agraria Daerah Istimewa Atjeh. Pada surat tersebut juga menjelaskan bahwa Teuku Daud bin Teuku Radja Udah sebagai pemilik tanah keempat pulau tersebut.

Disamping itu, fakta dilapangan nelayan Aceh membangun dermaga, rumah singgah hingga dengan mushola. Sedangkan, pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah sampai dengan saat ini tidak melakukan pelayanan publik di keempat pulau tersebut karena dianggap sebagai pulau yang tak berpenghuni. Pengamatan di lapangan, secara sosial dan budaya yang berkembang adalah adat Aceh. Hal ini dibuktikan dengan adanya larangan untuk mencari ikan pada hari jumat dan jika ada nelayan yang melanggar akan dikenakan sanksi qanun Aceh.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2 -2L38 Tahun 2025 secara hirarki berada dibawah UU No.24 Tahun 1956, pemerintah harus mengkaji ulang terkait data administrasi terhadap 4 pulau aceh tersebut masuk kedalam Provinsi Sumut, hal ini karna aspek legalitas hukum, sosial dan historis. “Pemerintah tidak bisa hanya menilai dari segi aspek geografis saja tapi juga dari sudut empiris yang ada, jika pemerintah terus memaksa kebijakan yang buta sejarah dan inkonstitusional ini, maka yang kita saksikan bukan lagi sekadar sengketa pulau, melainkan krisis kepercayaan rakyat Aceh terhadap NKRI.”

Pos terkait