Oleh Rizky Darmawan
Ketua HMI Badko Jabodetabeka Banten Bidang Lingkungan Hidup & Kehutanan
Deforestasi terus menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan biodiversitas dan ekosistem Indonesia. Rencana ambisius pemerintah untuk membuka 20 juta hektar hutan demi proyek pangan dan energi menjadi alarm bahaya yang tidak bisa diabaikan. Kebijakan ini tidak hanya bertentangan dengan upaya mitigasi krisis iklim tetapi juga berpotensi menghancurkan keseimbangan ekologis yang telah lama terjaga.
Hutan Indonesia memiliki peran sentral sebagai paru-paru dunia sekaligus rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna. Pembukaan hutan dalam skala besar akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah yang sangat besar, memperburuk perubahan iklim, dan mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat yang bergantung pada ekosistem tersebut. Selain itu, deforestasi juga menciptakan bencana ekologis seperti kekeringan, longsor, dan banjir bandang. Hutan berfungsi sebagai penyangga air dan pengendali siklus hidrologi. Hilangnya tutupan hutan secara masif akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.
Masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan juga menghadapi risiko besar. Kehidupan mereka yang bergantung pada hutan akan terancam karena kehilangan akses terhadap sumber daya alam. Di sisi lain, masyarakat pesisir menjadi lebih rentan terhadap bencana iklim, termasuk kenaikan permukaan air laut dan badai tropis.
Proyek ini tidak hanya berpotensi merusak hutan primer tetapi juga kawasan gambut yang memiliki peran vital sebagai penyimpan karbon alami. Potensi kerusakan kawasan gambut akan memperparah masalah kebakaran hutan dan lahan, yang setiap tahun menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar.
Ironisnya, kebijakan ini datang dari pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung hutan. Kementerian Kehutanan seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian hutan, tetapi malah terlibat dalam rencana yang melegitimasi perusakan hutan atas nama ketahanan pangan dan energi. Saat ini, sekitar 33 juta hektar hutan di Indonesia telah dibebani izin eksploitasi. Sebanyak 4,5 juta hektar konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, sementara 7,3 juta hektar telah dilepas dan 70% nya untuk perkebunan sawit. Data ini menunjukkan betapa masifnya dominasi korporasi dalam penguasaan hutan di Indonesia.
Rencana pemerintah membuka 20 juta hektar hutan ini juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE). Alih-alih mengurangi emisi, kebijakan ini justru memperbesar jejak karbon negara. Berdasarkan data Global Forest Watch, Indonesia telah kehilangan lebih dari 10 juta hektar hutan sepanjang 2001-2022. Angka ini menunjukkan deforestasi yang masif akibat lemahnya perlindungan hutan dan kuatnya kepentingan ekonomi di sektor kehutanan.
Di sisi lain, rencana ini juga mengabaikan hak masyarakat adat yang selama ini menjaga keberlanjutan hutan. Wilayah adat yang sering kali diklaim sebagai kawasan hutan negara akan semakin rentan terhadap perampasan. Hutan juga memiliki nilai penting bagi ketahanan pangan lokal. Dengan hilangnya hutan, masyarakat adat akan kehilangan sumber makanan dan air yang selama ini mereka manfaatkan. Ini menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan pangan dan keberlanjutan hidup komunitas lokal.
Kebijakan ini menunjukkan ketergantungan pemerintah pada korporasi besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Alih-alih memberikan akses kepada petani kecil dan masyarakat adat, lahan hutan justru diserahkan untuk kepentingan bisnis skala besar.
Rencana ini juga tidak transparan, khususnya terkait dampak emisi yang akan dihasilkan dari pembukaan hutan. Pemerintah belum memberikan data yang jelas mengenai potensi emisi karbon dari proyek ini, sehingga sulit menilai seberapa besar kontribusinya terhadap krisis iklim. Dalam banyak kasus, proyek besar seperti ini cenderung gagal mencapai tujuan utamanya. Food estate, misalnya, telah menunjukkan kelemahan dalam konsep dan implementasinya. Proyek-proyek ini sering kali tidak efisien dan justru menciptakan masalah baru.
Indonesia membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam mengelola sumber daya alam. Ketahanan pangan dan energi harus berbasis pada konsep keberlanjutan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama. Pemerintah perlu mengubah paradigma pembangunan yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam menjadi pendekatan yang lebih ramah lingkungan dan inklusif. Kebijakan ini harus mengutamakan kepentingan masyarakat, bukan korporasi.
Revitalisasi lahan pertanian yang sudah ada dan pemberdayaan petani kecil merupakan solusi yang lebih efektif dibandingkan pembukaan hutan besar-besaran. Dengan memberikan dukungan teknologi, infrastruktur, dan kepastian lahan kepada petani, krisis pangan dapat diatasi tanpa merusak lingkungan.
Krisis ekologis yang dihadapi Indonesia saat ini membutuhkan tindakan nyata untuk melindungi hutan yang tersisa. Hutan adalah aset yang tidak tergantikan, baik bagi keberlanjutan ekosistem maupun bagi generasi mendatang. Pemerintah harus menjadikan reforestasi sebagai prioritas, sesuai dengan komitmen dalam pertemuan internasional tentang perubahan iklim. Upaya ini penting untuk mengembalikan fungsi ekologis hutan yang telah rusak.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Kesadaran kolektif dan aksi nyata untuk melawan deforestasi harus terus didorong agar masa depan Indonesia tetap hijau dan berkelanjutan. Deforestasi bukan hanya masalah lingkungan tetapi juga ancaman bagi kehidupan manusia. Jika hutan terus hilang, maka biodiversitas dan ekologi akan mengalami kerugian yang tidak dapat diperbaiki. Saatnya kita bertindak sebelum semuanya terlambat.