Oleh: Arisman
Bendahara Umum HMI Badko Jabodetabeka-Banten
Proyek pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang membentang di pesisir Kabupaten Tangerang telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, terutama nelayan tradisional. Meski disegel oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga kini, pihak yang bertanggung jawab atas proyek tersebut masih belum diketahui. HMI Badko Jabodetabeka-Banten mendesak aparat penegak hukum untuk segera menangkap orang besar yang berada di balik proyek ini.
Pagar laut yang dipasang tanpa izin ini telah mengganggu aktivitas nelayan yang selama ini bergantung pada akses ke laut. Selain merusak ekosistem pesisir, keberadaan pagar ini juga menghalangi rute nelayan dalam mencari ikan, yang tentu saja merugikan mata pencaharian mereka. Lebih parahnya lagi, proyek ini belum memiliki kajian lingkungan yang sah dan tidak mengantongi izin dari KKP. Proyek seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dampaknya bisa jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.
Sampai saat ini, KKP belum menemukan pihak yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar laut tersebut. Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, menyatakan bahwa pihaknya terus melakukan penyelidikan, tetapi belum ada yang mengaku sebagai pemilik proyek pagar laut tersebut. Hal ini tentu menambah keprihatinan kita, mengingat dampak yang ditimbulkan oleh pagar tersebut begitu besar, baik dari sisi lingkungan maupun sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Sejak penyegelan pagar dilakukan pada awal Januari 2025, masyarakat semakin cemas dengan ketidakpastian yang ada. Pagar laut yang membentang di 16 desa ini telah menutupi akses nelayan ke laut lepas, memaksa mereka mencari jalan memutar yang memakan waktu dan biaya lebih besar. Jika proyek ini tidak segera dibongkar, bukan tidak mungkin dampaknya akan semakin besar dan merusak kehidupan nelayan serta ekosistem laut.
Proyek ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan terhadap kebijakan yang melibatkan lahan dan ruang laut. Meskipun proyek ini telah disorot oleh pemerintah pusat, kenyataannya pihak yang bertanggung jawab tidak kunjung muncul untuk mengklarifikasi status hukum dan tujuan pemasangan pagar tersebut. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa ada pihak-pihak besar yang memanfaatkan situasi ini untuk meraup keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan nasib masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menyebutkan bahwa lebih dari 3.800 nelayan dan sekitar 500 penangkar kerang terdampak langsung oleh proyek pagar laut ini. Namun, meski dampaknya jelas terasa bagi masyarakat, belum ada tindakan tegas yang diambil untuk menindaklanjuti persoalan ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memberikan tenggat waktu 20 hari bagi pihak yang bertanggung jawab untuk mencabut pagar tersebut, tetapi hingga kini belum ada yang datang untuk mengurus izin.
Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan juga harus terlibat lebih aktif dalam mengawasi proyek seperti ini. Pemasangan pagar laut sepanjang 30 kilometer di kawasan pesisir jelas berpotensi merusak ekosistem mangrove dan terumbu karang, yang selama ini menjadi benteng alam bagi keberlangsungan kehidupan laut. Jika pemerintah tidak tegas dalam menindak proyek-proyek yang tidak sah ini, kita akan terus menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang lebih besar di masa depan.
Masalah perizinan yang tidak jelas juga menambah persoalan besar. Pihak KKP menyebutkan bahwa pagar laut ini tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan pagar laut tersebut melanggar aturan yang ada. Jika benar-benar ada pihak yang memiliki niat baik untuk membangun proyek ini, maka mereka harus menunjukkan transparansi dengan mengurus izin yang diperlukan. Namun, kenyataannya hingga kini tidak ada pihak yang mau mengakui proyek ini, yang tentunya menambah kecurigaan publik.
Pemasangan pagar laut tanpa izin ini tidak hanya merugikan nelayan dan masyarakat pesisir, tetapi juga dapat mempengaruhi kualitas lingkungan secara keseluruhan. Jika proyek ini terus berlanjut tanpa ada upaya pembongkaran, maka kita bisa saja menyaksikan kerusakan ekosistem yang lebih parah, yang berdampak pada keberlangsungan kehidupan laut dan pesisir. Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan langkah tegas dengan mengusut tuntas siapa yang bertanggung jawab atas proyek ilegal ini.
Dalam hal ini, pengawasan terhadap proyek-proyek besar yang melibatkan sumber daya alam sangat penting dilakukan. Proyek seperti pagar laut di Tangerang menunjukkan adanya celah dalam sistem pengawasan yang ada. Hal ini harus segera diperbaiki agar proyek serupa di masa yang akan datang tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
Kita semua tahu bahwa pembangunan infrastruktur adalah bagian penting dalam kemajuan negara. Namun, pembangunan tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Pagar laut yang terpasang di Tangerang adalah contoh nyata bagaimana proyek yang tidak didasari oleh kajian yang matang dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas, maka proyek ini hanya akan menjadi preseden buruk dalam pembangunan Indonesia.
Pemerintah harus bertindak cepat untuk menuntaskan masalah ini. Dalam hal ini, aparat penegak hukum harus dapat mengidentifikasi dan menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab, terutama mereka yang berada di balik proyek pagar laut ini. Jika dibiarkan, dampaknya akan semakin meluas dan merugikan masyarakat serta lingkungan yang rentan.
HMI Jabodetabeka-Banten mengajak masyarakat untuk terus mengawasi dan memberikan tekanan kepada pemerintah agar bertindak tegas dalam menanggapi proyek yang merugikan masyarakat dan alam ini. Proyek pagar laut ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa pembangunan tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan. Hanya dengan langkah yang tepat dan cepat, kita bisa memastikan bahwa pembangunan yang ada benar-benar membawa manfaat bagi seluruh pihak.