Kriminalisasi Aktivis Lingkungan Sebagai Cikal Bakal Rusaknya Pelestarian Alam dan Runtuhnya Kualitas Demokrasi Indonesia

Kriminalisasi di Indonesia mengacu pada praktik di mana individu atau kelompok diproses secara hukum dengan tuduhan kriminal yang seringkali dipandang sebagai motif politik atau pembungkaman opini. Ini telah menjadi subjek kontroversi karena dituduh menjadi alat untuk menekan oposisi atau kritik terhadap pemerintah. Kasus-kasus seperti itu telah menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan berpendapat dan keadilan dalam sistem hukum Indonesia.

Beberapa kasus kriminalisasi yang kontroversial di Indonesia termasuk penahanan dan penuntutan terhadap aktivis hak asasi manusia, jurnalis, dan tokoh-tokoh politik yang dianggap menyuarakan kritik terhadap pemerintah atau masalah-masalah sosial. Contoh-contohnya termasuk kasus-kasus seperti penahanan aktivis pro-demokrasi, pembela lingkungan, dan pemberantasan korupsi yang seringkali dituduh sebagai upaya untuk membungkam suara-suara kritis di masyarakat. Negara mesti memastikan bahwa ruang demokrasi di dunia maya dan nyata tetap terbuka bagi semua yang ingin berpartisipasi dalam perubahan positif tanpa takut akan ancaman hukum yang tidak adil.

Salah satu kasus yang bisa disoroti adalah Vonis tujuh bulan yang dijatuhkan kepada pegiat lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, disebut sebagai “preseden buruk” yang memicu kekhawatiran ancaman penjara bagi masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup. Berikutnya Haris Azhar dan Fatia KontraS Tersangka Kasus “Lord Luhut” yang disebut Amnesty sebagai bentuk Kriminalisasi Aktivis oleh negara. Tidak jauh juga kasus 6 Orang Meninggal yang dikecam PBHI sebagai Kriminalisasi Warga Tolak Tambang Sungai Bila telah merusak dan menghancurkan Sungai Bila serta penahanan masyarakat Sungai selama ini menjadi sumber pengairan bagi aktivitas pertanian dan penghidupan masyarakat. Peristiwa tersebut tidak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan di wilayah aliran Sungai Bila, namun juga telah menelan korban jiwa sebanyak 6 orang warga sekitar. Tiga orang masyarakat aktivis AMPSB (Aliansi Masyarakat Peduli Sungai Bila) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Sidrap yang saat ini proses hukumnya telah sampai di Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang. Dan banyak lagi kasus-kasus kriminalisasi aktivis yang menjadi kekhawatiran bersama. Padahal Kritik aktivis tentang kerusakan lingkungan yang merupakan bentuk kontrol sosial dan upaya untuk mendorong perbaikan. Pada saat pemerintah dan industri lalai dalam menjaga lingkungan, aktivislah yang menjadi alarm dan penjaga ‘gawang’ terakhir.

Perlu diketahui aktivis punya hak untuk menyuarakan aspirasi karna diatur dalam Pasal kebebasan berpendapat diatur dalam UUD 1945 Pasal 28F. Adapun bunyi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal tentang kebebasan berpendapat ini diatur lebih lanjut dalam UU 9/1998. Membungkam aktivis lingkungan dengan UU ITE adalah tindakan yang kontraproduktif. Hal ini bukan cuma melemahkan demokrasi, tetapi juga menghambat upaya pelestarian lingkungan. Seharusnya Indonesia yang notabene merupakan negara penganut sistem demokrasi menjamin kebebasan berpendapat sebagai pengontrol sosial akibat kebijakan pemerintah yang merusak lingkungan dan tidak pro-rakyat. Bukan malah dikriminalisasi hanya karna kepentingan kelompok tertentu yang jelas-jelas merugikan rakyat. Dengan kondisi tersebut menjadikan kualitas demokrasi Indonesia semakin menurun sebagai negara yang terbuka akan suara rakyatnya.

Oleh:Hamzah Fansuri Peserta LK III Badko Sumatera Barat

Pos terkait