Imparsial.id – 79 Tahun Republik berdiri, situasi kondisi sosial menjadikan masyarakat seperti kehilangan sebuah arah. Tanpa mengurangi rasa semangat untuk terus di kumandangkan, ingin rasanya saya mengubur dalam-dalam rasa ketidak percayaan yang melekat di hati masyarakat yang menganggap bahwa negara seperti kehilangan arah dalam membangun prinsip-prinsip Bernegara maupun Berbangsa.
Historis Bangsa Indonesia dalam sejarahnya telah banyak mengalami berbagai hantaman serta jalan terjal untuk menuju Indonesia yang Merdeka. Pada tahun 1764 – 1962 Masehi, Hindia-Belanda mempunyai pengaruh serta kepentingan yang besar pada penguasaan wilayah Indonesia.
Pada perkembangan zaman saat ini, masyarakat Indonesia berada pada ruang ketidakpastian hidup. Dimana akses Pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan tidak terbuka luas dan tidak dirasakan secara utuh.
Sedikit kita mengulas sejarah didalam tulisan Peter Kasenda yang berjudul “SUKARNO, MARXISME & LENINISME ; AKAR PEMIKIRAN KIRI & REVOLUSI INDONESIA”. Menyampaikan, bahwa dalam penemuan kata Marhaen dikisahkan pertama kali dalam kuliah umum Sukarno (Red: shaping and reshaping), Indonesia di Bandung pada 3 Juli 1957, yaitu ketika Sukarno berjalan-jalan di suatu sawah sekitar Kota Bandung dan bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen, ketika ditanya siapa yang memiliki tanah yang sedang dikerjakan nya, sang petani menjawab, “Milik saya”. Kemudian Sukarno bertanya lagi “Ini pacul siapa?” petani menjawab lagi “Milik saya”. Terakhir Sukarno bertanya, “Alat-alat ini punya siapa?” dan lagi-lagi dijawab “Milik saya”.
Dari sebuah dialog dengan petani itu, Sukarno berkesimpulan bahwa petani hanya bekerja untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Kendati petani bekerja untuk dirinya sendiri, ia tetap saja miskin. Oleh karena itu Sukarno menggunakan nama Marhaen sebagai gambaran kemiskinan rakyat, Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang dimelaratkan oleh sistem, kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.
Didalam tubuh Bangsa Indonesia yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kita miliki, bangsa Indonesia perlu mempunyai kepemimpinan yang tidak sama sekali mempunyai kepentingan ganda. Didalam buku yang berjudul “TRI SAKTI BUNG KARNO UNTUK GOLDEN ERA INDONESIA” yang ditulis oleh Pahrizal, S.Sos., MA. Dijelaskan bahwa tidaklah mudah dalam membawa Indonesia ini keluar dari cengkraman budaya konsumtif, ketidak mandirian, dan ketergantungan bukanlah perkara yang mudah untuk kita rubah. Dibutuhkan peran kepemimpinan yang memiliki komitmen kuat untuk keluar dari semua itu, perubahan besar (great transformation), akan terjadi apabila pemimpin memiliki kemampuan yang kuat untuk melaksanakan komitmen itu.
Didalam membangun kepemimpinan itu , syarat yang harus dimiliki kepemimpinan oleh sebuah Bangsa Indonesia adalah; kepemimpinan yang transformatif, kepemimpinan visioner, kepemimpinan yang memiliki komitmen penegakan hukum dan ham, memiliki komitmen mensejahterakan rakyat, berani menegosiasikan kembali hutang, dan terakhir tidaklah mempunyai kepentingan ganda (kolusi, korupsi, nepotisme).
Lahirnya ilmu didalam sebab akibat, adanya akibat karena adanya ilmu tentang sebab, begitupula sebaliknya. Mengutip sedikit didalam Pidato nya Bung Karno yang berisi :
“Hei pemuda-pemudi yang ada disini, sekarang mengerjakan Invesment. Kerjakanlah pekerjaan mu sebaik-baiknya, kerjakanlah sebaik-baiknya oleh karena, apa yang kau kerjakan sekarang ialah Ilmu dan Ilmu itu bukan untuk mu sendiri, tetapi ialah untuk anak cucu mu, untuk Bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk Tanah Air Indonesia, untuk Negara Republik Indonesia, agar supaya kamu nanti dapat memberi sumbangan kepada pembangunan tanah air dan Bangsa”.
Dalam pembangunan tanah air dan Bangsa kita memiliki rasa kepercayaan diri. Pada tulisan buku yang berjudul “EKONOMI BERDIKARI SUKARNO” yang ditulis oleh Amiruddin Al-Rahab. Dalam kajian filsafat Politik dan Hukum kita mengenal perdebatan antara Letter Of The Law & Spirit Of The Law. Menyambung pada pidato Nawaksara, 22 Juni 1966, Bung Karno menyatakan :
“Terutama prinsip berdikari dibidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya meminta jangan dilepaskan jiwa “Self-Reliance” ini, jiwa percaya pada kekuatan diri sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari “.
Ada 2 dua kata menarik disini, yaitu penggunaan kata “Jiwa” dan kata “Percaya”. Dua kata ini digunakan dalam perspektif spirit of the law. Didalam bukunya “TUDJUH BAHAN-BAHAN POKOK INDOKTRINASI”. Bung Karno menyatakan : “Merdeka buat saya ialah; Political Independen, Politike Onafhankelijheid”. Lantas apa yang dimaksud dengan Politike Onafhankelijheid, tak lain dan tak bukan ialah satu jembatan, satu jembatan emas, saya katakan bahwa diseberang itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Didalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus. Hanya lain sifatnya, lain corak nya, nanti kita bersama-sama, sebagai Bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan didalam konstitusi dan Pancasila”.
Mudah-mudahan dengan berbagai situasi kondisi yang terjadi didalam masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia senantiasa terus berjuang untuk mencapai kemerdekaan yang sebenar-benarnya, yang tidak dapat diganggu gugat, dan tidak direbut kemerdekaannya oleh siapapun. Semoga lahirnya Pancasila dapat dijadikan pegangan, dijadikan pedoman oleh Nusa dan Bangsa kita seluruhnya. Dalam usaha memperjuangkan dan menyempurnakan kemerdekaan Bangsa dan Negara Tercinta. Sekali lagi Pancasila ini harus menjadi pedoman bagi Masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Bahwa Bangsa yang berdaulat adalah Bangsa yang berkemanusiaan.
Bogor, 1 Juni 2024
Zayyanul Iman Al-fadhilla
Tokoh Pemuda Visioner