Oleh Rizky Darmawan
Ketua HMI Badko Jabodetabeka Banten Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Proyek pembangunan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) yang berlokasi di Kabupaten Tangerang, Banten, mengundang berbagai kontroversi, terutama mengenai perizinan, penyerobotan lahan, serta dampaknya terhadap lingkungan pesisir dan kawasan hutan lindung. Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dijanjikan akan menjadi destinasi pariwisata unggulan, pembangunan PIK 2 ternyata tidak lepas dari masalah yang mengancam kelestarian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat setempat.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi Jabodetabeka-Banten Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan kajian, terdapat kekhawatiran serius terkait legalitas dan dampak dari proyek PIK 2 ini. Masalah utama yang mencuat adalah terkait dengan sebagian besar lahan yang digunakan untuk pembangunan PIK 2 yang berada di kawasan hutan lindung. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kawasan hutan lindung tidak dapat dikonversi begitu saja tanpa kajian dan persetujuan dari instansi terkait.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid mengungkapkan bahwa 1.500 hektar dari 1.705 hektar yang ditetapkan untuk proyek PIK 2 berada di kawasan hutan lindung. Menurutnya, status hutan lindung ini belum ada perubahan yang sah, baik menjadi hutan konversi maupun alokasi penggunaan lain (APL). Pernyataan tersebut memberikan sinyal bahwa perizinan untuk proyek ini belum sepenuhnya jelas dan sah.
Lebih jauh, Nusron menegaskan bahwa kajian terkait peruntukan ruang dan kesesuaian pemanfaatan ruang untuk proyek PSN ini masih perlu dilakukan. Hal ini mencakup analisis apakah proyek ini sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR). Di sisi lain, penting untuk mempertanyakan apakah proyek ini benar-benar memiliki dampak yang sebanding dengan tujuan besar yang dijanjikan, yaitu pembangunan sektor pariwisata.
Pembangunan PIK 2 menjadi sorotan karena selain melibatkan kawasan hutan lindung, sebagian lahan juga terletak di kawasan pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan ekosistem. Dalam kajian ini, banyak pihak yang mempertanyakan apakah proyek besar ini benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat dan lingkungan, ataukah lebih mengedepankan kepentingan pengembang yang berfokus pada keuntungan finansial semata.
Dalam konteks ini, proyek PIK 2 berpotensi menambah kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan yang lebih besar. Dari sisi lingkungan, proyek ini diperkirakan akan mengancam ekologi pesisir dan hutan mangrove yang menjadi tempat hidup banyak spesies laut dan daratan. Dampaknya tidak hanya terhadap alam, tetapi juga terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir yang bergantung pada keberadaan hutan mangrove dan lahan pesisir untuk kehidupan sehari-hari mereka.
Kementerian Kehutanan yang semestinya menjadi pihak yang paling berkeberatan atas konversi hutan lindung menjadi lahan pembangunan, tampaknya tidak cukup tegas dalam menangani masalah ini. Seharusnya, hutan lindung yang tersisa di Pulau Jawa harus dijaga dengan ketat, apalagi di tengah-tengah krisis perubahan iklim yang semakin terasa dampaknya. Sebaliknya, pemberian izin untuk mengubah fungsi lahan hutan lindung menjadi kawasan pariwisata justru berpotensi memperburuk kondisi lingkungan yang sangat rentan.
Selain masalah perizinan dan dampak lingkungan, penyerobotan lahan oleh pengembang juga menjadi isu utama. Proyek ini yang diusung oleh pengembang besar seperti Agung Sedayu Group (ASG) dan Salim Group, diduga telah melakukan pembebasan lahan secara besar-besaran dengan cara yang merugikan masyarakat. Warga yang tidak bersedia menjual atau menyerahkan tanah mereka sering kali dihadapkan pada intimidasi dari aparat setempat, serta ancaman kriminalisasi.
Proyek PIK 2 juga terindikasi memanfaatkan status sebagai PSN untuk memperluas area pembangunan secara signifikan, melebihi batas yang semula ditetapkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi dan integritas dalam pelaksanaan proyek ini. Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam memberikan status PSN, agar tidak dimanfaatkan oleh pengembang untuk tujuan ekspansi yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Di sisi lain, masyarakat pesisir yang menjadi korban dari proyek ini kehilangan ruang hidup mereka akibat konversi lahan yang tidak seimbang dengan kepentingan publik. Meskipun pengembang mengklaim bahwa proyek ini tidak menggunakan dana APBN dan sepenuhnya dibiayai oleh pihak swasta, dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan jelas lebih besar dari sekadar keuntungan finansial yang dijanjikan.
Tidak hanya itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga melakukan penyegelan bangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer yang didirikan di dekat area proyek PIK 2. Pagar ini tidak memiliki izin resmi dan diduga melanggar peraturan yang ada. Penyegelan yang dilakukan oleh KKP, berdasarkan perintah Presiden Prabowo Subianto, merupakan langkah yang tepat untuk menjaga ekosistem laut dan memastikan bahwa proyek ini tidak merusak lingkungan pesisir.
Keberadaan pagar laut yang ilegal ini mengganggu aktivitas nelayan setempat dan berpotensi merusak ekosistem laut yang telah ada selama bertahun-tahun. Selain itu, proyek yang mengatasnamakan PSN ini seharusnya mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Jika terus dibiarkan tanpa kajian yang matang, proyek ini bisa menambah ketimpangan sosial dan merusak ekosistem pesisir yang sudah rentan.
Proyek PIK 2, meski dibawa sebagai proyek strategis nasional dengan tujuan mempercepat sektor pariwisata, seharusnya tidak mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan. Penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi lebih mendalam dan transparan terhadap kebijakan ini, serta memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat yang terdampak.
Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali apakah pembangunan PIK 2 sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jika tidak, proyek ini hanya akan menjadi contoh buruk dari keserakahan pembangunan yang mengorbankan masyarakat dan alam demi keuntungan segelintir pihak.
Proyek ini harus dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial dan bukan sekadar alat untuk memperkaya pengembang dan pihak-pihak yang terlibat. Jika dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya, maka proyek ini seharusnya dikaji ulang dengan cermat dan transparan. Keputusan mengenai masa depan PIK 2 harus mempertimbangkan kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan demi masa depan yang lebih baik.