Oleh: Aulia Eka Putra (Ketua Umum HMP Hukum Tata Negara UIN Imam Bonjol Padang).
IMPARSIAL.ID — Kampus pada dasarnya merupakan laboratorium peradaban yang kehadirannya untuk merancang masa depan sebuah bangsa. Saling tukar tambah pikiran, transfer ilmu pengetahuan, beradunya lumbung gagasan, dan pembentukan karakter sudah menjadi tanggung jawab kampus terhadap mahasiswa.
Kebebasan berpendapat dan berkreativitas merupakan hak yang sejatinya juga dimiliki oleh seseorang mahasiswa sebagai agen perubahan untuk membenahi permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Namun, disaat kita sudah mau memasuki Era Society 5.0 ternyata ruang kebebasan mahasiswa masih saja dibelenggu oleh sistem perpeloncoan dan senioritas yang sering terjadi di kampus.
Perpeloncoan yang sering mengintimidasi junior kerap mematikan nalar kritis mahasiswa, terlebih mahasiswa baru menjadi sasaran empuk perpeloncoan bagi kakak tingkat bahkan prengurus organisasi mahasiswa sendiri.
Perpeloncoan sering diartikan sebagai praktek mempermalukan, penghinaan, mengintimidasi, bahkan sampai melakukan kekerasan fisik maupun nonfisik, yang dilakukan oleh senior kepada junior dalam proses tahap melewati pra syarat mahasiswa baru.
Praktek ini sering terjadi di Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) dalam kegiatan Follow Up biasanya atau saat Pendidikan Latihan Dasar (Diklatsar) yang dilakukan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Perpeloncoan sudah mendarah daging di batang tubuh sistem pendidikan Indonesia sejak zaman kolonial, dulu perpeloncoan telah diterapkan di salah satu sekolah kedokteran di Batavia pada tahun 1898. Muhammad Roem, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, menceritakan pengalamannya sebagai korban perpeloncoan di Stovia. Saat itu, mahasiswa baru dikondisikan untuk menjadi pelayan bagi senior di kampus. Junior harus memanggil Tuan kepada senior, ada pula yang menjadi kurir untuk senior, bahkan sampai menjadi tukang bersih-bersih sepatu senior.
Secara historis, permasalahan perpeloncoan di dunia pendidikan Indonesia sudah menjadi warisan yang sudah mengakar sejak dulunya, didalam buku “Catatan Seoran Demonstran” yang ditulis oleh Soe Hoek Gie. Soe Hoek Gie merupakan seorang mahasiswa jurusan sejarah, fakultas sastra Universitas Indonesia (UI) dikatakannya, sebelum mulai kuliah diadakanlah masa ospek untuk masa pengenalan terhadap lingkungan dan budaya akademik.
Namun dihari berikutnya tiba lah masa perploncoan “Ketika baru diplonco kami dibentak-bentak, ditendang tas kami dan dimaki-maki.” kata Gie pada tanggal 20 Oktober 1961 dalam catatan hariannya yang dibukukan dalam karyanya “Catatan Seoran Demonstran”. Gie menyaksikan dirinya dan kawan-kawan seangkatan diperlakukan seperti binatang, dan sangat tidak manusiawi jauh dari budaya akademik yang seharusnya diperkenalkan pada mereka.
Praktek ini marak terjadi di tingkat Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), dampak dari perpeloncoan berkedok kaderisasi membuat mahasiswa baru kehilangan ruang aman dan berimbas terhadap proses kemajuan organisasi. Sesudah proses kaderisasi berakhir, banyak mahasiswa baru terpaksa bahkan menghindar dari kegiatan-kegiatan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS).
Hal ini terjadi karena sudah terbangun stereotip negatif antara mahasiswa baru dengan senior. Kasus perpeloncoan di lingkungan kampus berdampak negatif dalam keberlangsungan aktivitas akademik. Banyak korban yang tumbang bahkan meninggal dunia dalam catatan kelam kasus perpeloncoan di Indonesia.
Dalam praktek perpeloncoan, junior dituntut untuk patuh dan tunduk atas perintah senior yang sewenang-wenang. Senior seolah-olah menjadi tuhan yang kekal dan abadi atas sabda-sabda yang dilontarkannya. Ruang aman junior menjadi sempit karena prinsip perpeloncoan selalu mengintimidasi kreativitas dan membunuh nalar kritis mahasiswa.
Dalih yang sering disampaikan oleh senior kepada junior saat proses kaderisasi ialah solidaritas komunal untuk kemajuan kolektif. Hal itu hanya omong kosong senior semata untuk menarik simpati mahasiswa baru.
Ketidakstabilan hubungan senior dengan junior membuat solidaritas organisasi berkonflik panjang tanpa adanya titik temu. Praktek perpeloncoan juga berdampak kepada aktivitas intelektual mahasiswa baru.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam proses kaderisasi senioritas membuat nalar kritis mahasiswa untuk berpikir visioner menjadi redup. Sehingga menimbulkan sikap mental yang eksklusif dan tunduk kepada arahan senioritas yang primitif, semua dampak ini mengakibatkan mahasiswa korban perpeloncoan menjadi kurang kompetitif dalam menghadapi tantangan zaman, cenderung lebih apatis, tidak ada rasa kepedulian dan kepekaan terhadap apa yang terjadi disekitarnya.
Melihat fakta tersebut, perpeloncoan di dunia kampus Indonesia perlu dibenahi secara serius dan diselidiki secara mendalam untuk mencari solusi terbaik dalam membasmi ke akar rumput praktek-praktek pembungkaman mahasiswa baru.
Proses pemusnahan perpeloncoan harus ditanggapi oleh pihak terkait seperti institusi pendidikan negara, universitas, pimpinan organisasi mahasiswa, supaya rasa aman, kebebasan berpendapat, dan berpikir kritis memang dirasakan secara nyata oleh mahasiswa baru.
Sudah menjadi kewajiban pimpinan universitas dan tanggungjawab pimpinan organisasi mahasiswa untuk membenahi sistem kaderisasi yang berbasis perpeloncoan senioritas.
Kesadaran untuk melakukan revolusi sistem harus dilakukan sejak sekarang, karena zaman sudah berbeda, ilmu pengetahuan sudah berkembang, teknologi semakin maju, karakter manusia juga sudah bertransisi.
Praktek perpeloncoan harus dihentikan dari dunia pendidikan Indonesia, cara-cara primitif dengan membentak-bentak junior, menghardik junior dengan cara binatang tidak menjadi acuan dalam proses kaderisasi organisasi mahasiswa.
Jika organisasi mahasiswa, terutama Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) ingin bertahan dalam kemajuan zaman, caranya adalah melakukan revolusi sistem kaderisasi dari yang bernuansa primitif menjadi kaderisasi yang humanis dan visioner Sebab, kaderisasi merupakan jantung sebuah organisasi untuk melanjutkan estafet kepemimpinan, membina dan mengarahkan mahasiswa baru dalam ruang lingkup organisasi perlu langkah-langkah konkrit yang relevan dengan perkembangan zaman.
Tugas senior di sini bukan untuk memberi intimidasi, akan lebih baik jika senior memberi contoh teladan dengan prestasi akademik dan non akademik maupun gerakan-gerakan kolektif yang proaktif terhadap mahasiswa dan peka terhadap apa yang terjadi.
Selain itu, senior harus mulai bertransisi untuk membina dan mengarahkan mahasiswa baru untuk berkarya sebebasnya demi terwujudnya insan akademis yang senantiasa memperjuangkan misi keumatan dan kebangsaan.